Selamat Datang

Semoga Membantu

History

History

Kamis, 17 November 2011

Rangsangan itu Bertambah

Pengalaman di pantai segera disusul pengalaman-pengalaman berikutnya. Kino kini sangat dekat dengan Mba Rien-nya, tetapi hubungan mereka menampakkan dimensi yang aneh. Jika ada orang bertemu mereka berdua, niscaya orang-orang itu akan berkata, ‘Akur sekali kakak-beradik itu!’. Bahkan kedua orang tua Kino memandang seperti itu, dan karenanya tidak pernah tahu apa yang terjadi antara Rien dan anak mereka.
Sebaliknya, bagi Rien dan Kino, hubungan mereka telah memasuki babak yang sangat menentukan. Bagi Rien, kini Kino adalah seorang lelaki sempurna, lengkap dengan segala atributnya, termasuk birahinya terhadap wanita. Kino adalah sebuah kepompong yang sedang berubah menjadi kupu-kupu. Dan Rien adalah seorang peri yang membantu kupu-kupu itu terbang.
Minggu sore itu, Rien mengajak Kino mencari kenari di hutan kecil dekat danau. Mereka berangkat setelah pukul 3, saat matahari memulai perjalanan turunnya. Tadinya Niken hendak ikut, demikian pula Dodi teman Kino. Tetapi lalu Niken sakit perut karena datang bulan, dan Dodi harus mengantar ibunya ke dokter gigi. Jadilah akhirnya mereka hanya berdua ke hutan.
Rien hanya bercelana pendek, dan memakai t-shirt yang ditutupi jaket parasut. Kino bercelana khaki militer, lengkap dengan sepatu bot, dan t-shirt hijau tua. Berdua mereka menyusuri jalan setapak, masuk semakin jauh ke dalam hutan yang konon dulu menjadi salah satu tempat pertahanan bala tentara Nippon. Di hutan ini banyak pohon kenari, dan dalam waktu kurang dari setengah jam, keranjang mereka berdua sudah dipenuhi kenari. Dengan gesit, Rien berlarian menemukan kenari-kenari yang masih utuh di tanah. Kino selalu kalah gesit, terutama karena ia selalu lebih banyak memandang Mba Rien yang tampak seksi sore itu.
Lalu, tiba-tiba saja hujan turun. Pertama cuma rintik-rintik, tetapi lalu berubah sangat lebat. Mereka pun berlarian mencari tempat berteduh, dan beruntung karena tidak jauh dari situ ada sebuah gua kecil bekas persembunyian tentara Jepang. Kino menyeret Mba Rien berlari ke gua itu, dan tiba di sana sedetik sebelum hujan yang sangat deras jatuh ke bumi.
“Wah, untung ada gua ini!” tukas Mba Rien sambil gemetar menahan dingin yang tiba-tiba menyerbu. Gua kecil ini tidaklah terlalu dalam, tetapi sangat lembab, sehingga dindingnya dipenuhi lumut dan udaranya lebih dingin dari di luar. Apalagi sekarang turun hujan. Kino pun ikut gemetar kedinginan.
Mereka berdiri berdekatan, dan entah bagaimana, Rien akhirnya memeluk tubuh Kino dari belakang. Kino tak menolak, dan bahkan merentangkan tangannya ke belakang, balas memeluk kedua lengan Mba Rien. Perlahan-lahan, gemetaran tubuh mereka mereda, sejalan dengan tersebarnya kehangatan dari dua tubuh yang menempel itu. Kino perlahan-lahan mulai merasakan kekenyalan di punggungnya, tempat kedua payudara Mba Rien menempel erat. Rien merebahkan kepalanya di punggung pemuda belia yang harum sabun mandi ini. Sebentuk perasaan sayang tiba-tiba saja menghambur keluar dari dadanya, menyebabkan Rien memejamkan mata.
Setelah lebih dari sepuluh menit, hujan tampaknya makin membesar saja. Sementara langit mulai gelap menjelang sore. Rien sedang berpikir-pikir bagaimana caranya pulang, ketika ia mendengar Kino memanggil namanya.
“Kenapa, Kino?” tanyanya sambil tetap memejamkan mata dan merebahkan kepala di punggung remaja itu.
“Aku juga ingin memeluk, Mba Rien…” ucap Kino pelan. Rien tersenyum dan berkata pelan, “Seperti aku memeluk kamu?”
Kino tidak menyahut. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Seperti apa ia ingin memeluk Mba Rien, ia belum tahu caranya!
Rien tersenyum lagi, lalu melepaskan pelukannya. Ia berkata lembut, “Sini…, putar tubuhmu menghadap aku..”
Kino memutar tubuhnya, lalu tiba-tiba saja ia sudah memeluk Mba Rien yang tubuhnya agak lebih pendek sedikit darinya. Dagu Kino menyentuh dahi Mba Rien, dan kedua tangan Mba Rien merengkuh erat, bagai hendak meluluhkan tubuh Kino. Oh, begini rupanya rasanya dipeluk seorang wanita dewasa! pikir Kino dalam hati, dan ia merasakan sebuah kehangatan menjalar dari antara kedua kakinya.
“Begini?” tanya Mba Rien dengan sedikit nada menggoda. Kino cuma mengangguk. Rien tertawa kecil, nafasnya yang hangat menyerbu leher Kino dan menelusup ke dalam t-shirtnya. Kino pun bergidik, membuat Rien tambah tertawa. Lalu tiba-tiba Rien menggigit leher Kino. Tersentak, Kino lalu ikut tertawa kegelian.
Rien tidak berhenti menggigit, dan bahkan lalu berubah menciumi leher perjaka ini. Hmm, harum sabun wangi, desahnya dalam hati. Persis seperti wangi bayi kakaknya yang dulu ia sering bantu memandikannya. Dengan gemas, ia menciumi terus leher Kino, membuat remaja ini menggelinjang kegelian. Saat itulah Kino merasakan sebuah desakan kuat untuk membalas tindakan Mba Rien. Tanpa disadari, Kino menunduk dan menempelkan wajahnya ke wajah Rien yang sedang tengadah. Tanpa sengaja pula, kedua bibir mereka telah berpadu. Sejenak Rien tersentak kaget, tapi ia lalu memejamkan mata dan segera melumat bibir Kino. Berdesir cepat darah Kino merasakan bibir basah yang hangat mengulum bibirnya, dan desahan nafas harum menyerbu penciumannya. Astaga, inilah rupanya ciuman pertama itu!
Tentu saja Kino tak tahu cara berciuman. Ia diam saja membiarkan Mba Rien mengerjakan segalanya, termasuk memaksanya membuka mulut agar lidahnya bisa masuk ke dalam mulutnya. Dengan nafas tersengal, Kino mencoba melakukan sesuatu dengan lidahnya sendiri, tetapi ia tidak tahu harus berbuat apa. Maka ia diam saja, membiarkan Mba Rien mengulum-ulum bibirnya, menelusuri rongga mulut dengan lidahnya, dan menghisap-hisap bibir bawahnya dengan rakus.
Rien sendiri merasa kaget atas apa yang ia kerjakan. Rupanya, birahi yang selama ini tak pernah ia tampilkan, kini menyeruak keluar dengan kekuatan sendiri tanpa dapat dicegah. Telah lama sekali Rien tidak berciuman, sejak ia memutus hubungan dengan Rian yang sekarang entah di mana. Telah lama tubuhnya tidak merasa gejolak seperti ini, dan kalaupun ia membiarkan Kino memegang payudaranya di pantai, itu hanyalah untuk menghapus penasaran remaja yang menarik simpatinya. Kejadian di pantai dulu, bagi Rien, bukanlah birahi. Tetapi kini, di gua yang gelap dan dingin ini, Rien kaget ketika sadar bahwa ia begitu bersemangat menciumi Kino!
Untunglah kesadaran itu cepat datang. Buru-buru ia menghentikan ciumannya, dan dengan satu tangan ia menghapus bekas-bekas ludah di bibir Kino. Sambil tersenyum, ia minta maaf dengan suara lembut, ” … Mba Rien keterlaluan, nih!”
Kino mengernyitkan dahi tak mengerti. “Kenapa berhenti, Mba?” tanyanya penuh heran.
“Tidak. Kamu tidak boleh saya ciumi seperti itu. Kamu bukan pacar saya…,” kata Mba Rien, masih dengan suara lembut, meneduhkan hati Kino yang sudah bergejolak.
“Tapi saya suka, Mba Rien…” Kino bersikeras. Rien tersenyum melihat tuntutan remaja ini.
“Suka apa?” tanyanya menggoda.
“Suka dicium seperti itu,” jawab Kino cepat. Ia kini semakin berani berdebat.
Sejenak Rien bimbang. Simpatinya kembali datang. Kasihan ia melihat remaja ini terputus di tengah jalan yang sedang dinikmatinya. Tetapi ia tahu, kalau ciuman itu diteruskan, dirinya sendiri akan ikut hanyut. Satu-satunya jalan untuk menghindari kekecewaan Kino adalah dengan menciumnya lagi, tetapi tidak dengan birahi.
Maka Rien berkata, “Baiklah …” lalu ia menarik leher Kino, mendekatkan bibirnya ke bibir Kino dan menciumi remaja ini dengan lembut. Kino memejamkan mata, menikmati ciuman Mba Rien yang terasa sekali dipenuhi kasih sayang. Tubuhnya bagai disiram kehangatan kasih yang tak tergambarkan oleh kata-kata. Tubuhnya bagai melayang tak menginjak bumi. Tubuhnya bagai awan di langit yang biru sejuk.
Rien menahan senyum melihat tingkah Kino yang memejamkan mata dan memeluk tubuhnya seperti tak hendak dilepaskan. Tetapi ada satu hal yang tidak diperhitungkannya! Perlahan tapi pasti, ia merasakan sesuatu membesar menempel sedikit di atas perutnya. Karena Kino lebih tinggi, maka bagian depan kelaki-lakiannya menempel di perut Rien, dan Rien segera menyadari apa yang terjadi.
Dengan tangan kirinya, Rien meraba bagian itu. Ah, tegang sekali kelaki-lakian Kino, dan panas pula rasanya, seperti dialiri air mendidih. Sejenak Rien bimbang lagi, sementara bibirnya masih sibuk mengulum-ngulum bibir Kino. Apa yang harus ku lakukan? Rien berpikir keras, tetapi tangannya sudah pula mulai meremas. Seakan-akan tangan itu punya pikiran sendiri di luar kepalanya!
Akhirnya kepala Rien mengalah kepada tangannya. Ia melanjutkan remasan, dan mulai menyukai pilihannya. Nafas Kino terdengar terengah-engah, dan Rien semakin merasa tak enak jika harus berhenti sekarang. Ia sudah membangkitkan api di tubuh remaja ini, ia pula yang harus memadamkannya. Dengan pikiran begitu, Rien membuka resleting celana Kino yang masih terpejam seakan-akan tak sadar. Pelan-pelan tangan Rien merayap ke dalam celana dalam Kino dan menemukan kelaki-lakiannya sudah tegang dan agak basah di ujungnya. Ah, halus dan kenyal sekali kelaki-lakiannya, desah Rien dalam hati, diam-diam menikmati apa yang dikerjakannya.
Kino merasakan tangan Mba Rien merayapi kelaki-lakiannya, membuat dirinya semakin terlena. Ia merasakan desakan aneh yang nikmat, sama dengan desakan-desakan yang selama ini ia rasakan kalau berhayal sendirian di kamarnya. Kini desakan itu semakin kuat, dan apa yang dikerjakan Mba Rien di bawah sana sangat berbeda dengan apa yang biasa ia kerjakan. Kali ini jauh lebih nikmat, jauh lebih menggairahkan.
Tangan Rien meremas lebih kuat, lalu menggosok ke atas ke bawah. Ia tahu persis apa yang harus dilakukan. Rian, pacarnya dulu, pernah mengajarkan bagaimana cara terbaik untuk memuaskan laki-laki dengan tangan. Maka dilakukannya apa yang telah lama tidak dilakukannya. Rien kini ikut memejamkan mata, berkonsentrasi pada bagian bawah tubuh Kino tanpa melepaskan ciumannya. Ia merasakan betapa kelaki-lakian itu kini menegang dengan cepat, dan mulai berdenyut-denyut. Rien tahu, sebentar lagi Kino akan mencapai orgasme pertama di tangannya. Sejenak ia menurunkan telapak tangannya sampai ke pangkal kelaki-lakian Kino, lalu dengan gaya mengurut ia membawa naik telapak tangannya, dan sesampai di atas ia meremas-remas dengan kuat.
Kino tak tahan lagi. Tangan Mba Rien yang halus dirasakannya bagai sedang menarik lepas sebuah sumbat di bawah sana. Dan dengan lepasnya sumbat itu, sebuah air bah yang dahsyat menyerbu keluar. Kino mengerang pelan, melepaskan bibirnya dari bibir Mba Rien, mendongak seakan berusaha menghisap lebih banyak udara, lalu menjerit tertahan.
Rien merasakan betapa kelaki-lakian Kino tiba-tiba membesar dengan cepat, lalu bergetar dan berdenyut-denyut kuat. Telapak tangan Rien meremas untuk terakhir kalinya, lalu mulai menerima semprotan-semprotan cairan kental panas. Ia mengepalkan tangannya, menampung semua itu agar tidak bermuncratan ke mana-mana. Tidak kurang dari tujuh kali rasanya semprotan cairan itu memenuhi kepalannya. Lalu, Kino terkulai lemas, dan memeluk tubuh Mba Rien. Pelan-pelan Rien mengeluarkan tangannya, dan diam-diam mengambil sapu tangan untuk membersihkan tangan itu.
“Enak?” tanya Mba Rien lembut, seperti seorang ibu menanyakan bagaimana rasanya makan malam yang dihidangkannya. Kino tertawa tertahan, malu bercampur senang. Hujan masih turun, walau tak lagi lebat. Kino tak peduli. Walau harus bertarung melawan macan di hutan ini pun, ia tak peduli. Selama Mba Rien ada di sisinya, ia tak peduli!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar