Selamat Datang

Semoga Membantu

History

History

Sabtu, 03 Desember 2011

Cerpen: Setitik Gerimis di Pagi Hari

Setitik Gerimis di Pagi Hari Namaku Zie. Aku adalah anak tunggal sekaligus yatim. Aku sangat menyukai gambar dan lukisan. Tetapi penyakit jantung ayah kambuh saat penyerahan hadiah kemenanganku atas lomba lukis se-Riau, dan ia tak pernah melihat piagam kemenanganku untuk selamanya. Sejak kejadian itu, aku sulit untuk membuat gambar ataupun melukis lagi. Dan tugasku sebagai ilustrator mading sekolah sering tersendat dan tidak sesuai lagi dengan keinginanku. “Hei, Zie!” teriak Bima dari luar kelas. Bima adalah ketua ilustrator. Saat itu aku sedang membuat ilustrasi untuk majalah dinding bulan ini yang ditugaskan olehnya. Tapi sepertinya dia akan meminta tugasku sekarang. “Sorry, Bim,” aku kembali melanjutkan menggambar, tanpa menoleh,”mungkin setengah jam lagi siap.” “Entar aku kesini semuanya udah clear, oke?” Tanpa menunggu jawabanku, Bima membalikkan langkahnya. Andaikan aku bisa kembali menggambar seperti dulu, mungkin tugas seperti ini akan selesai dari tadi. Oh, god! Kerongkonganku terasa kering. Akhirnya aku memutuskan untuk membeli minuman di kantin yang cukup jauh juga dari kelas ini. Sesaat setelah meneguk pop ice rasa anggur kesukaanku, terdengar pembicaraan di belakangku. “Kenapa lagi dia?” kata suara yang kurang kukenal. “Nggak tau, tuh! Buat ilustrasi gitu aja lama betul,” aku mengenali suara ini sebagai suara Bima, “Jangan-jangan ilustrasinya baru siap besok!” celetuk temannya Bima. “Tauk, ah!” jawab Bima geram, “Cewek itu selalu suka seenaknya. Udah jelek, belagu lagi! Untung…,” Aku tak lagi mendengar kelanjutan percakapan itu, mereka sudah pergi dari tempat duduk mereka. Dan tanpa kusadari airmataku sudah jatuh membasahi pipiku yang tak mulus karena jerawat. Besoknya aku tak merasa ingin pergi ke sekolah. Begitu juga dua hari berikutnya. Ibu tidak banyak bertanya kenapa aku tidak ke sekolah. Dia terlalu sibuk dengan pekerjaannya sebagai penerjemah. Beberapa orang mengirimkan pesan padaku lewat sms, tapi semuanya tidak menanyakan keadaanku. Mereka hanya memintaku untuk melanjutkan pekerjaanku yang belum selesai. Betapa bencinya aku pada mereka semua! Di hari keempat sejak kejadian itu, aku memutuskan untuk kembali ke sekolah. Dan aku membulatkan tekad untuk tidak memedulikan mereka, yang sebagian besar membenciku. Hari ini ada seorang murid baru cewek pindahan dari Selat Panjang. Anak baru itu sangat cantik, dan dia memperkenalkan dirinya dengan nama Fira. “Hai, aku boleh duduk disampingmu?” tanya Fira kepadaku “Silahkan, asal jangan ngeganggu aja,” jawabku “Baiklah,” katanya sambil tersenyum, dan mengacungkan dua jarinya membentuk tanda damai kepadaku, “Aku janji nggak bakal ngerepotin, kok!” Fira anak yang senang bercerita. Walaupun aku tidak terlalu suka dengan orang yang banyak bicara, tapi aku selalu betah mendengarkan ceritanya yang sebagian besar terdengar konyol. Fira juga membuatku jadi tidak minder kalau berada di dekatnya, karena dia selalu menggandeng tanganku. “Zie, kamu kok diam saja,” Tanya Fira suatu hari, “sekali-kali cerita gitu sama aku. Perasaan selama ini aku terus yang bekoak-koak sendiri kaya’ tante-tante cerewet!” Aku tertawa mendengar perkataan Fira yang polos itu. Kejujurannya inilah yang mungkin menyebabkan aku betah mendengarkan ceritanya. “Entah, Fir,” kataku akhirnya setelah selesai tertawa, “Aku tidak punya bahan cerita yang menarik untuk diceritakan.” “Kok gitu?” aku tidak menjawab pertanyaannya. Bagiku cukup kalau dia bersikap seperti ini padaku tanpa harus terkontaminasi oleh cerita-ceritaku nantinya. “Zie!” teriak Bima dari depan pintu kelas Aku menjawab dengan mendengus menandakan bahwa aku mendengarkannya. “Tugas kemarin udah selesai?” “Nggak,” jawabku sekenanya, “aku nggak mood ngerjainnya.” “Maksudmu? Kamu ini, udah lama dikasih tugasnya, belum kelar-kelar juga! Lelet amat sih jadi orang!” teriak Bima, “Niat kerja nggak sih, dasar cewek jelek!” Darahku hampir mendidih mendengar perkataannya barusan. Kemudian tiba-tiba Fira sudah berdiri di depanku dan menarikku mendekati Bima. “Zie, kamu tahu nggak, gara-gara cowok yang selalu memandang fisik seseorang kaya’ gini aku pindah dari sekolahku yang lama,” setelah berkata begitu, Fira mengepalkan tinjunya dan mengarahkannya ke perut Bima, dan membuat Bima meringis kesakitan. “Apaan sih cewek ini,” kata Bima sambil memegangi perutnya yang meradang, “Kamu udah gila, ya! Dasar Cewek Lesbi!” Kali ini aku yang naik pitam. aku masih bisa bersabar kalau dia menghinaku. Tapi tidak kalau dia berani menghina satu-satunya teman yang begitu baik padaku. Aku menampar mukanya berkali-kali hingga muka Bima yang putih mulus berubah merah lebam. “Itu hadiah buatmu karena nggak pernah sopan sama cewe’,” kataku akhirnya, dan melemparkan sebuah amplop yang jatuh di atas perutnya, “dan itu surat pengunduran diriku,” Betapa leganya aku karena telah melampiaskan kekesalanku selama ini. Setelah hari itu, entah kenapa jari-jemariku kembali menuruti keinginanku, sehingga aku kembali dapat melukis seperti dulu. Thanks God!

Arti Persahabatan

Bagiku arti persahabatan adalah teman bermain dan bergembira. Aku juga sering berdebat saat berbeda pendapat. Anehnya, semakin besar perbedaan itu, aku semakin suka. Aku belajar banyak hal. Tapi ada suatu kisah yang membuat aku berpendapat berbeda tentang arti persahabatan. Saat itu, papa mamaku berlibur ke Bali dan aku sendirian menjaga rumah... “Hahahahaha!” aku tertawa sambil membaca. “Beni! Katanya mau cari referensi tugas kimia, malah baca komik. Ini aku menemukan buku dari rak sebelah, mau pinjam atau tidak? Kamu bawa kartu kan? Pokoknya besok kamis, semua tugas kelompok pasti selesai. Asal kita kerjakan malam ini. Yuhuuuu... setelah itu bebas tugas. PlayStation!” jelas Judi dengan nada nyaring. Judi orang yang simpel, punya banyak akal, tapi banyak juga yang gagal, hehehe.. Dari kelas 1 SMA sampai sekarang duduk di kelas 2 - aku sering sekelompok, beda lagi kalau masalah bermain PlayStation – Judi jagoannya. Rasanya seperti dia sudah tau apa yang bakal terjadi di permainan itu. Tapi entah kenapa, sekalipun sebenarnya aku kurang suka main PlayStation, gara-gara Judi, aku jadi ikut-ikutan suka main game. Sahabatku yang kedua adalah Bang Jon, nama sebenarnya Jonathan. Bang Jon pemberani, badannya besar karena sehari bisa makan lima sampai enam kali. Sebentar lagi dia pasti datang - nah, sudah kuduga dia datang kesini. “Kamu gak malu pakai kacamata hitam itu?” Tanyaku pada Bang Jon yang baru masuk ke perpustakaan. Sudah empat hari ini dia sakit mata, tapi tadi pagi rasanya dia sudah sembuh. Tapi kacamata hitamnya masih dipakai. Aku heran, orang ini benar-benar kelewat pede. Aku semakin merasa unik dikelilingi dua sahabat yang over dosis pada berbagai hal. Kami pulang bersama berjalan kaki, rumah kami dekat dengan sekolah, Bang Jon dan Judi juga teman satu komplek perumahan. Saat pulang dari sekolah terjadi sesuatu. Kataku dalam hati sambil lihat dari kejauhan “( Eh, itu... )”. “Aku sangat kenal dengan rumahku sendiri...” aku mulai ketakutan saat seseorang asing bermobil terlihat masuk rumahku diam-diam. Karena semakin ketakutannya, aku tidak berani pulang kerumah. “Ohh iya itu!” Judi dan Bang Jon setuju dengan ku. Judi melihatku seksama, ia tahu kalau aku takut berkelahi. Aku melihat Judi seperti sedang berpikir tentangku dan merencanakan sesuatu. “Oke, Beni – kamu pergi segera beritahu satpam sekarang, Aku dan Bang Jon akan pergoki mereka lewat depan dan teriak .. maling... pasti tetangga keluar semua” bisikan Judi terdengar membuatku semakin ketakutan tak berbentuk. Karena semakin ketakutan, terasa seperti sesak sekali bernafas, tidak bisa terucapkan kata apapun dari mulut. “...Beni, ayo...satpam” Judi membisiku sekali lagi. Aku segera lari ke pos satpam yang ada diujung jalan dekat gapura - tidak terpikirkan lagi dengan apa yang terjadi dengan dua sahabatku. Pak Satpam panik mendengar ceritaku – ia segera memberitahu petugas lainnya untuk segera datang menangkap maling dirumahku. Aku kembali kerumah dibonceng petugas dengan motornya. Sekitar 4 menit lamanya saat aku pergi ke pos satpam dan kembali ke rumahku. “Ya Tuhan!” kaget sekali melihat seorang petugas satpam lain yang datang lebih awal dari pada aku saat itu sedang mengolesi tisu ke hidung Bang Jon yang berdarah. Terlihat juga tangan Judi yang luka seperti kena pukul. Satpam langsung menelpon polisi akibat kasus pencurian ini. “Jangan kawatir... hehehe... Kita bertiga berhasil menggagalkan mereka. Tadi saat kami teriak maling! Ternyata tidak ada tetangga yang keluar rumah. Alhasil, maling itu terbirit-birit keluar dan berpas-pasan dengan ku. Ya akhirnya kena pukul deh... Judi juga kena serempet mobil mereka yang terburu-buru pergi” jawab Bang Jon dengan tenang dan pedenya. Kemudian Judi membalas perkataan Bang Jon “Rumahmu aman - kita memergoki mereka saat awal-awal, jadi tidak sempat ambil barang rumahmu.” Singkat cerita, aku mengobati mereka berdua. Mama Judi dan Ban Jon datang kerumahku dan kami menjelaskan apa yang tadi terjadi. Anehnya, peristiwa adanya maling ini seperti tidak pernah terjadi. “Hahahahaha... “ Judi malah tertawa dan melanjutkan bercerita tentang tokoh kesayangannya saat main PlayStation. Sedangkan Bang Jon bercerita kalau dia masih sempat-sempatnya menyelamatkan kacamata hitamnya sesaat sebelum hidungnya kena pukul. Bagaimana caranya? aku juga kurang paham. Bang Jon kurang jelas saat bercerita pengalamannya itu. “( Hahahahaha... )” Aku tertawa dalam hati karena mereka berdua memberikan pelajaran berarti bagiku. Aku tidak mungkin menangisi mereka, malu dong sama Bang Jon dan Judi. Tapi ada pelajaran yang kupetik dari dua sahabatku ini. Arti persahabatan bukan cuma teman bermain dan bersenang-senang. Mereka lebih mengerti ketakutan dan kelemahan diriku. Judi dan Bang Jon adalah sahabat terbaikku. Pikirku, tidak ada orang rela mengorbankan nyawanya jika bukan untuk sahabatnya ( Judi dan Bang Jon salah satunya ).